Friday, October 19, 2018

Rumitnya Facebook merancang kecerdasan buatan perangi terorisme

Rumitnya Facebook merancang kecerdasan protesis perangi terorisme

Media sosial kerap dijadikan kambing hitam menjadi loka penyebaran konten-konten terorisme. Telebih bila mengusut implikasi survei yang dilakukan oleh Universitas Miami sepanjang 2015 sampai menggunakan 2016, terlihat relatif mencengangkan.

BERITA TERKAIT
Akun palsu FB 'Taj Yasin Maimoen' minta sumbangan buat pesta kemenangan
Akun Facebook Taj Yasin dipalsukan buat minta sumbangan pesta masyarakat
Terbuai janji pernikahan, gadis di Surabaya tertipu laki-laki kenalan di FB

Betapa nir, 106.000 aktivis pro ISIS seluruhnya memakai media umum buat menggempur paham radikalisme. Tak tanggung-tanggung, sebesar 166 grup di media umum yang dipergunakan mereka buat kepentingan membentuk jaringan.

Dari 166 grup di media umum itu, 90.000 pesan terkirim setiap harinya. Pengguna media umum mirip digempur kanan kiri menggunakan liputan-liputan yang pro ISIS.

Nampaknya, ISIS memang paham betul betapa efektifnya media umum ini menjadi alat dakwah. Menyampaikan pandangan-pandangannya buat bisa diterima logika sehat para pengguna media umum. Terutama anak-anak muda.

Setali 3 uang, perusahaan-perusahaan media umum pun jengah menggunakan tuduhan-tuduhan yang selalu menyudutkannya atas nama sarang teroris. Alhasil, mirip Facebook berjibaku menumpas konten-konten yang sarat radikalisme. Tentu, ini demi masa depan perusahaan besutan Mark Zuckerberg.

Segenap perjuangan sudah dilakukan. Berkumpul menggunakan belasan perusahaan teknologi lainnya buat membahas cara terbaik melawan teroris. Namun sayangnya, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ternyata ada banyak dilema yang sangat sulit harus dipecahkan.

Salah satunya merupakan bagaimana mengidentifikasi konten teroris yang jumlahnya relatif mini di platform yang relatif besar mirip Facebook. Ini semacam mencari sebuah kutu. Sulit. Belum lagi menggunakan penyampaian bahasa yang majemuk semakin membuat kusut dilema ini.

Maka, Facebook terpaksa memakai banyak orang buat meninjau konten yang berpotensi melanggar kebijakan serta menghapusnya.

Nampaknya, menjadi perusahaan teknologi, Facebook tidak ingin hanya mengandalkan energi manusia. Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan protesis diikutsertakan buat mengatasi dilema ini. Berhasilkah?

Keterlibatan AI ternyata memiliki donasi yang konkret membantu membersihkan kutu-kutu teroris yang melekat di platform milik mereka. Namun bila melihat ke belakang dalam pembuatannnya jua relatif rumit.

Sama rumitnya ketika masa awal membersihkan konten radikalisme. Bagaimana membuat sistem kompeterisasi yang sanggup membaca bila gambar atau teks tadi bermuatan radikalisme.

Sebuah solusi yang ada buat foto nir akan selalu bisa menjadi solusi buat video serta teks. Sebuah solusi yang berhasil buat mengenali ikon teroris dalam sebuah gambar, nir akan selalu bisa membedakan antara teroris yang menaruh foto buat melakukan perekrutan serta sebuah organisasi gosip maupun organisasi gosip yang menaruh foto homogen buat mengedukasi publik, ujar Head of Counterterrorism Policy, Facebook, Brian Fishman.

Seiring menggunakan perkembangan ketika, sejak Juni kemudian, sistem AI yang dikembangkan Facebook dianggap sudah relatif memuaskan. Mereka membicarakan 99 % konten terkait teror ISIS serta Al Qaeda sudah terhapus sendiri sebelum energi manusia turut membantu.

Bahkan sebelum konten tadi diunggah di blog ini. Kami melakukan hal ini melalui penggunaan sistem otomatis mirip pencocokoan foto serta video serta pembelajaran mesin berbasis teks. Begitu kami menemukan konten teror, kami menghapus 83 % salinan postingan dalam ketika satu jam setelah konten itu diunggah, jelasnya.

Kendati begitu, menerapkan penggunaan AI buat kontraterorisme tidaklah sesederhana itu. Tergantung pada tekniknya, diharapkan dokumentasi database menggunakan hati-hati atau meminta kode data manusia buat melatih mesin.

Sebuah sistem yang didesain buat menemukan konten dari satu gerombolan teroris langsung mungkin nir akan sanggup dipergunakan buat gerombolan lainnya karena adanya perbedaan bahasa serta gaya dalam propaganda mereka. [idc]

No comments:

Post a Comment