Mengejutkan, Indonesia ternyata menduduki nomor 3 sebagai negara yg diduga sebagai korban penyalahgunaan data oleh Cambridge Analytica melalui Facebook.
Data yg baru-baru ini dirilis Facebook serta ditampilkan oleh CNN (13/4) memberikan Cambridge Analytica kemungkinan sudah mengakses data milik 1,10 juta pengguna Facebook Indonesia.
Angka itu tidak selaras tipis dengan Filipina (1,18 juta) yg menduduki peringkat kedua serta Inggris (1,08 juta) di peringkat keempat. Amerika Serikat masih menduduki peringkat tertinggi yaitu 70,63 juta pengguna. Total asumsi data yg diakses secara tidak absah sebesar 87 juta.
Menteri Komunikasi serta Informatika sempat mengecam untuk menutup Facebook jikalau penyalahgunaan data itu terbukti. Investigasi kepada Facebook akan segera dilakukan.
Sebagaimana sudah banyak diberitakan, Mark Zuckerberg, pemilik Facebook, baru saja merampungkan testimoninya di hadapan parlemen Amerika. Pendiri Facebook itu dipanggil untuk mengungkapkan terjadinya penyalahgunaan data jutaan pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica. Perusahan tersebut beranjak di bidang konsultan politik serta bekerja untuk kampanye Donald Trump.
Sedikit mengingat, awal terjadinya penyalahgunaan data yaitu pada tahun 2014, sebesar 270 ribu pengguna Facebook mengakses kuis berdasarkan software yg bernama This is Your Digital Life. Tanpa disadari, mereka yg berpartisipasi dalam kuis tersebut membagikan data pribadinya kepada Cambridge Analytica.
Parahnya, data yg dibagi itu pula termasuk sejumlah teman di Facebook. Akibatnya, Cambridge Analytica bisa pula mengakses data mereka yg tidak ikut dalam kuis. Pengumpulan data secara tidak absah itu baru terungkap bulan Maret 2018.
Hasil temu Zuckerberg dengan parlemen patut disayangkan lantaran belum membagikan kepastian penyelesaian. Pernyataan bias berulangkali diutarakan Zuckerberg selama proses hearing. Ditambahkan lagi, banyak anggota parlemen yg ternyata tidak memahami teknologi sehingga sulit menggali fakta berdasarkan CEO Facebook tersebut.
Mahalnya Data Privasi
Ironis memang, perkara penyalahgunaan data jutaan orang ini. Apalagi ada dugaan pengguna media social berdasarkan Indonesia pula sebagai korbannya.
Belakangan ini, data sebagai sesuatu yg mempunyai nilai jual sangat tinggi. Sebut saja perkara pencurian data Equifax serta Yahoo menyebabkan kedua perusahaan raksasa tersebut mengalami kerugian jutaan dolar.
Sekarang artinya era big data, yg mana data dengan kuantitas yg besar mempunyai akurasi yg tinggi untuk suatu analisis ketimbang metode usang yaitu data sampling. Untuk itulah banyak perusahaan besar yg berlomba memperoleh data privasi orang sebesar-banyaknya.
Dalam perkembangannya, perusahaan pemilik data melakukan jual beli data yg dimilikinya sehingga bisa meraup keuntungan yg sangat besar. Selain Facebook, Apple serta Google merupakan contoh perusahaan raksasa yg mengelola data privasi amat besar.
Banyak pihak menerka asal keuntungan Facebook diantaranya berasal berdasarkan penjualan data. Untuk itulah, pengguna dimanjakan dengan pendaftaran serta banyak sekali fitur menarik yg perdeo. Mark Zuckerberg menyangkal tuduhan tersebut serta permanen menyatakan asal pendapatan Facebook artinya berdasarkan iklan. Entahlah, mana yg betul.
Kembali pada problem di Indonesia, dugaan tingginya data pengguna negeri ini yg disalahgunakan tidak terlepas berdasarkan jumlah orang Indonesia yg bergabung di Facebook. Data berdasarkan Statista memberikan pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ketiga bersama Brazil untuk jumlah pengguna Facebook. Angka yg dicatat artinya 130 juta atau hampir separuh berdasarkan total penduduk Indonesia.
Motif Pencurian Data
Pencurian data oleh forum asing atau siapapun patut sebagai perhatian serius. Kasus Facebook terbaru masih sebatas dikaitkan dengan alasan politik Donald Trump. Namun, jikalau digali lebih mendalam mungkin permasalahannya tidak sesederhana itu. Sulit mengukur motif sebenarnya berdasarkan pencurian serta penyalahgunaan data privasi.
Facebook ataupun perusahaan lain pemilik data bisa untuk memetakan perilaku jutaan insan melalui olah algoritma. Mereka dapat mengetahui minat orang, barang favorit, fakta yg biasa diakses, serta lain sebagainya. Kumpulan fakta tulah yg mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan dalam banyak sekali tujuan, seperti politik, komersialisasi barang, atau sekedar penelitian.
Menjerat penyedia media sosial atau platform pemilik data tidaklah mudah. Mereka pada umumnya sudah melegalisasi pemanfaatan data tersebut melalui kontrak baku (terms of condition) yg ditawarkan sebelum pengguna membuka akun. Tetapi sayang sekali, sebagian besar kontrak yg diajukan ditulis dengan alfabet sangat mini, puluhan hingga ratusan pasal, serta dengan bahasa yg sulit dipahami. Akhirnya, pengguna banyak mengabaikan ikatan syarat tersebut.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi serta Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya secara implicit sudah mengatur pengamanan data tersebut. Namun, penegakannya ternyata tidak mudah. UU ITE sulit menjerat penarikan data tanpa biar oleh Cambridge Analytica melalui platform Facebook, sebagai contoh.
Hal itu dikarenakan penyalahgunaan serta pencurian data sudah melalui teknologi canggih yg sulit dideteksi. Sebagian besar perkara semacam itu bahkan kerap terlambat terungkap atau sengaja ditutupi oleh pemilik perusahaan.
Upaya konservasi data melalui perangkat undang-undang dirasa belum nisbi. Kesadaran serta kewaspadaan pengguna dalam mengakses fakta melalui media social sebagai kunci vital lainnya. Untuk perkara yg sudah terjadi, pemerintah perlu mengungkap secara tuntas. Bisa jadi, di era digital ini, penguasaan fakta sebagai kapital utama bagi bangsa yg bertenaga ketimbang kepemilikan senjata perang termutakhir.
Sumber:
Statista
CNN
aturan online
No comments:
Post a Comment