Friday, July 27, 2018

Kasus Kebocoran Data Facebook Menurut Etika Bisnis

Kasus Kebocoran Data Facebook Menurut Etika Bisnis
Kasus Kebocoran Data Facebook Menurut Etika Bisnis

Facebook merupakan sebuah layanan jejaring sosial berkantor sentra di Menlo Park, California, Amerika Serikat yg diluncurkan pada bulan Februari 2004. Pengguna harus mendaftar sebelum bisa memakai blog ini. Setelah itu, pengguna bisa membentuk profil pribadi, menambahkan pengguna lain menjadi teman dan bertukar pesan. Facebook menjadi keliru satu media umum terlaris yg memiliki miliaran pengguna ini menjadi sarana untuk mempererat interaksi pertemanan dan kekerabatan.

Namun, nasib malang harus dialami sang pihak Facebook semenjak terungkapnya problem kebocoran data pengguna Facebook pada Maret 2018 ini. Kasus ini bermula waktu munculnya whistleblower yg berkata perusahaan tadi menyalahgunakan 87 juta data pengguna Facebook.

Dilansir dari bangwin.net, Christopher Wylie, ex karyawan perusahaan analitik, Cambridge Analytica membeberkan apa yg sebenarnya yg terjadi melalui tayangan sebuah video pengakuan perihal pelanggaran privacy beserta menyedot data profil jutaan pengguna sebuah jejaring sosial terbesar di dunia yg dilakukan sang perusahaan tempatnya bekerja yg bernama Cambridge Analytica

 Akibat pembeberan ini, Cambridge Analytica mendapat kecaman keras atas cara mereka dalam merogoh data yaitu beserta mengelabui responden. Kecaman keras pula tertuju pada Facebook lantaran dipercaya menyampaikan akses kepada perangkat lunak luar untuk bisa merogoh data pengguna yg seharusnya nir diberikan didasarkan  hak privacy.

Herman Saksono, seseorang mahasiswa S3 di Northeastern University memaparkan, sebenarnya praktek pencarian data untuk sebuah kepentingan itu masuk akal dilakukan, akan tetapi masalahnya adalah Cambridge Analytica melakukannya beserta cara yg nir etis.

Cambridge Analytica merogoh 50 juta pengguna Facebook beserta cara mengundang 270 ribu pengguna Facebook untuk melakukan tes kepribadian beserta memakai apps yg diberi nama thisisyourdigitallife tanpa diketahui sang para responden bahwa apps tadi pula bisa merogoh data teman-teman para responden yg terhubung lewat interaksi pertemanan mereka di Facebook. Pencurian data ini jelas nir bisa dibenarkan apalagi beserta cara mengelabui responden sehingga hal ini dipercaya melanggar etika. 

Dilansir dari cnnindonesia.com, CEO Cambridge Analytica Alexander Tayler mengungkapkan pihaknya menyampaikan rangkaian fakta yg menjawab klaim dan pemberitaan atas problem ini . Berikut fakta yg dipaparkan sang Cambridge Analytica menjadi penjelasan atas kebocoran data pelanggan Facebook dalam halaman resminya:

Cambridge Analytica berkata tak terdapat hukum yg rusak. Pasalnya mereka tak meretas Facebook. Ada sebuah perusahaan riset yakni General Science Research (GSR) yg menyampaikan lisensi data kepada Facebook.
Ratusan perusahaan data sudah memakai data Facebook beserta cara yg sama. Cambridge Analytica nir mengumpulkan secara ilegal atau cara nir tepat atau berbagi data beserta orang lain.
"Cambridge Analytica nir melanggar regulasi The Federal Election Commision (FE)" tulis CA dalam situsnya.
Cambridge Analytica nir memakai data GSR atau turunan dari data tadi dalam Pemilihan Presiden AS. CA memakai data dari RNC, data dari asal publik misalnya registrasi pemilih, data dari pialang data komersial, dan penelitian yg mereka kumpulkan sendiri beserta pernyataan persetujuan yg jelas.
"Klaim bahwa kami memakai data GSR untuk kampanye Trump sama sekali nir sahih. Cambridge Analytica menyediakan polling, analisis data, dan pemasaran digital untuk kampanye Trump," tukasnya.
Mereka mengklaim metode yg mereka pakai sama beserta yg dipergunakan sang kampanye lainnya. Mereka dikabarkan memakai contoh preferensi politik yg sama yg dipergunakan sang kampanye Obama dan Clinton.
Cambridge Analytica berkata pihaknya nir bekerja sama sekali pada Referendum Brexit. Mereka melakukan subkontrak beberapa pemasaran digital di Amerika Serikat dan beberapa pengembang perusahaan Kanada yg nir memiliki kaitan beserta CA.
CA melihat Christopher Wylie bukan seseorang pelapor. Dia berulang kali mengaku menjadi pendiri Cambridge Analytica. Faktanya adalah dia seseorang kontraktor Pemilu SCL dan kembali pada pertengahan 2014.
Karyanya untuk Cambridge Analytica dimulai pada Agustus 2013 dan berakhir pada Juli 2014.
"Dia nir memiliki pengetahuan baru perihal perjuangan kami atau praktiknya dan sudah mengakui dalam kesaksiannya," tambah Cambridge Analytica.
Ketika Wylie kembali, dia mendirikan perusahaan pesaing bernama Eunoia Technologies yg CA duga memakai data dan kontak mereka yg melanggar perjanjian kerahasiaannya beserta kami. Eunoia pula memperoleh salinan data GSR.
Eunoia melakukan kampanye Trump dan Wylie kemudian mencoba bekerja untuk Vote.leave. Ketika Pemilu SCL menemukan Wylie sudah melanggar kontraknya, kami merogoh tindakan hukum terhadapnya, 2 karyawan lainnya dan Eunoia. 
Cambridge Analytica dan SCL Elections adalah perusahaan yg tidak selaras. Cambridge Analytica adalah entitas AS independen yg bekerja beserta Pemilu SCL menjadi afiliasi untuk melayani pasar politik Amerika Utara
CA melakukan audit pihak ketiga yg independen untuk membagikan bahwa mereka nir memiliki data GSR apa pun. Mereka berkata akan membagikan output penyelidikan ini segera sehabis mendapat hasilnya. 
Cambridge Analytica sudah bekerja sama beserta Kantor Komisi Informasi Inggris (ICO). Mereka sudah berkomunikasi beserta ICO semenjak Februari 2017, waktu CA menjadi tuan tempat tinggal di London. CA melakukan kolaborasi ini untuk menyampaikan transparansi total pada data yg mereka pegang, bagaimana mereka memprosesnya, dan dasar hukum untuk memprosesnya.
Cambridge Analytica adalah perusahaan yg netral secara politik.
"Secara dunia, kami bekerja di seluruh spektrum politik arus primer," ujarnya.

No comments:

Post a Comment