Wednesday, August 8, 2018

Konsekuensi Guru serta Murid Berteman di Facebook

Konsekuensi Guru serta Murid Berteman di Facebook
Konsekuensi Guru & Murid Berteman di Facebook

[caption id="attachment_182976" align="aligncenter" width="460" caption="wa2.www.3news.co.nz"][/caption]

Adalah lumrah ketika seseorang ingin mengekspresikan dirinya melalui media sosial asalkan dapat membatasi dirinya kepada konduite yg sehat. Tidak muncul peraturan yg membatasi bahwa hanya anak belia saja yg boleh menggunakan media sosial. Jadi ketika orang tua, pejabat negara, atau bahkan pengajar atau dosen menggunakannya, apakah wajib dipercaya sebagai sesuatu yg lucu atau aneh? Tentu saja tidak, siapapun saja  dapat memanfaatkan seluruh fasilitas internet sebagai hak-hak individu yg patut dihargai.

Sampai di sini kelihatannya seluruh baik-baik saja & tidak perlu dipersolkan. Akan tetapi ketika mulai membahas perkara konduite di media sosial, kita akan terbentur dengan berbagai kebiasaan, aturan, budaya atau etika yg menjadi pedoman & pegangan masing-masing orang secara subjective.

Sebagai model ketika si A menganggap bahwa menggunakan baju terbuka buat photo profile ialah sesuatu yg tidak pantas & wajib dihapus sang pengelola media sosial, akan menjadi lain ketika si B menganggap hal tersebut biasa-biasa saja. Pengelola mediapun tidak akan sembarang mengambil tindakan mesikpun sudah dilaporkan sang si A. Batasan keterbukaan yg dikemukakan sang si A diubahsuaikan dengan term of condition yg muncul. Apabila keterbukaan dipercaya lumrah & dapat diterima maka laporan si A akan ignored laporan tanpa konfirmasi. Lain hal jikalau yg dilaporan si A menyangkut copyright atau pelanggaran privasi, mungkin saja photo profile yg dimaksud akan di hapus sang pengelola media.

Contoh diatas setidaknya menyampaikan suatu pemahaman bahwa suka atau tidak suka, apa yg kita kehendaki tidak dapat begitu saja dipaksakan buat diikuti orang lain. Selagi masih dalam batas kewajaran & sinkron dengan aturan yg muncul, semuanya sah-sah saja. Kalau anda tidak suka terhadap konduite seseorang di media sosial, simpel saja, tinggal remove orangnya menurut daftar pertemanan.

Di sinilah awal menurut pembahasan dimana awal suatu pertemanan dapat menimbulkan permasalahan atau perkara lainnya. Oleh karena itu seluruh pengguna media sosial seharusnya  dapat memahami bahwa ketika dia menyetujui permintaan pertemanan menurut seseorang maka konsekuensi terjadinya permasalahan dapat terjadi kapan saja.

Begitu halnya ketika seorang dosen atau pengajar mendapat permintaan pertemanan menurut anak didiknya maka konsekuensinya ialah masing-masing orang wajib dapat menjaga perilakunya. Bukan saja wajib mematuhi term of condition atau aturan aturan yg berlaku  namun juga wajib mendapat fenomena bahwa kebiasaan & etika lain wajib dihormati dalam pertemanan yg dijalin.

Sampai di sini, maka model si A & si B di atas tidak lagi relevan dimana masing-masing mempertahankan pendapatnya hanya atas dasar aturan yg berlaku di media sosial. Artinya pendapat si A dapat saja diterima jikalau pemilik photo profile yg dimaksud ialah seorang pendidik sedangkan yg melihat tontonan photo profile terbuka tersebut ialah anak didiknya.

Persoalan pertemanan antara pendidik & murid di media sosial memang membawa konsekuensi tersendiri. Tidak dapat diabaikan hanya menggunakan slogan "bebas berekspresi ialah hak seluruh orang". Masing-masing pihak terpaksa wajib menjaga perilakunya. Apa mau dikata, menjaga image (jaim) wajib ditempuh. Namun itupun kalau masing-masing pihak mau memahami keadaannya masing-masing. Kalau tidak, insiden mirip pemberitaan tempo, 24/10/2011 dapat saja terulang balik , ketika seorang pengajar dipecat karena mengomentari status anak kepala sekolah di Parepare. Atau mirip yg diberitakan detik.com, 14/02/2010, tentang empat orang murid SMU Negeri 4 Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dimuntahkan menurut sekolah karena menghina gurunya di Facebook.

Sebenarnya masih banyak bukti lainnya ketika pendidik & muridnya bermasalah karena konduite mereka di media sosial. Semua ini mengindikasikan bahwa muncul konsekuensi ketika mereka menjalin pertemanan di media sosial.

Lalu apakah hal ini tidak boleh? Sebenarnya tidak mirip itu. Pertemanan antara pendidik & muridnya dapat juga berguna sebagai media komunikasi buat menunjang bahan ajar atau kuliah. Hanya saja lebih banyak diwujudkan bukan dalam pertemanan individu namun diwadahi dalam satu grup Facebook, yg memungkinkan mereka berdiskusi atau berkomunikasi tanpa wajib menjalin pertemanan terlebih dahulu di Facebook.

Di Amerika Serikat banyak pengajar mulai menyadari konsekuensi ini. Sehingga mereka memutuskan buat memiliki dua akun Facebook yg tidak selaras, sebagai langkah antisipasi menjaga privasi mereka di media sosial. Di sini faktor menentukan sahabat sangat diharapkan. Sang pengajar akan selektif ketika permintaan pertemanan mereka terima dalam dua akun yg tidak selaras tersebut. Para murid dapat diterima dalam akun yg khusus didesain buat mereka namun akan ditolak dalam akun yg lainnya.

Dari apa yg diuraikan di atas, sebenarnya menjadi hak masing-masing orang. Akan tetapi dalam duduk perkara khusus mirip pertemanan antara pendidik & murid atau  atasan (boss) & bawahan (karyawan) tentu saja akan membawa konsekuensi tersendiri jikalau konduite masing-masing pihak tidak dijaga dengan baik. Ini fenomena yg tidak dapat dihindari.

No comments:

Post a Comment